Jumat, 25 November 2011

Usaha, Cara & Metode Pelestarian Hutan Agar Tidak Gundul dan Rusak Akibat Eksploitasi Berlebih Demi Melestarikan Lingkungan

Berikut di bawah ini adalah teknik dan cara yang dapat digunakan untuk menjaga hutan kita tetap terjaga dari tangan-tangan perusak jahat. Perambahan hutan tanpa perencanaan dan etika untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya sangatlah berbahaya karena dapat merusak alam dan habitat serta komunitas hewan yang ada di dalamnya.
1. Mencegah cara ladang berpindah / Perladangan Berpindah-pindah
Terkadang para petani tidak mau pusing mengenai kesuburan tanah. Mereka akan mencari lahan pertanian baru ketika tanah yang ditanami sudah tidak subur lagi tanpa adanya tanggung jawab membiarkan ladang terbengkalai dan tandus. Sebaiknya lahan pertanian dibuat menetap dengan menggunakan pupuk untuk menyuburkan tanah yang sudah tidak produktif lagi.
2. Waspada-Waspadalah & Hati-Hati Terhadap Api
Hindari membakar sampah, membuang puntung rokok, membuat api unggun, membakar semak, membuang obor, dan lain sebagainya yang dapat menyebabkan kebakaran hutan. Jika menyalakan api di dekat atau di dalam hutan harus diawasi dan dipantau agar tidak terjadi hal-hal yang lebih buruk. Kebakaran hutan dapat mengganggu kesehatan manusia dan hewan di sekitar lokasi kebakaran dan juga tempat yang jauh sekalipun jika asap terbawa angin kencang.
3. Reboisasi Lahan Gundul dan Metode Tebang Pilih
Kombinasi kedua teknik adalah sesuatu yang wajib dilakukan oleh para pelilik sertifikan HPH atau Hak Pengelolaan Hutan. Para perusahaan penebang pohon harus memilih-milih pohon mana yang sudah cukup umur dan ukuran untuk ditebang. Setelah meneang satu pohon sebaiknya diikuti dengan penanaman kembali beberapa bibit pohon untuk menggantikan pohon yang ditebang tersebut. Lahan yang telah gundul dan rusak karena berbagai hal juga diusahakan dilaksanakan reboisasi untuk mengembalikan pepohonan dan tanaman yang telah hilang.
4. Menempatkan Penjaga Hutan / Polisi Kehutanan / Jagawana
Dengan menempatkan satuan pengaman hutan yang jujur dan menggunakan teknologi dan persenjataan lengkap diharapkan mempu menekan maraknya aksi pengrusakan hutan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Bagi para pelaku kejahatan hutan diberikan sangsi yang tegas dan dihukum seberat-beratnya. Hutan adalah aset / harta suatu bangsa yang sangat berharga yang harus dipertahankan keberadaannya demi anak cucu di masa yang akan datang.

Read more...

Warga Zakat Kopi Untuk Kelestarian Hutan

Waykanan, Lampung, 3/9 (ANTARA) - Warga Kampung Jukubatu, Kecamatan Banjit, Kabupaten Waykanan, Provinsi Lampung mengumpulkan zakat 2,5 persen dari hasil panen kopi mereka untuk pelestarian hutan Register 24 Bukitpunggur.

"Selain untuk pelestarian lingkungan hidup, zakat tersebut juga digunakan untuk membangun dan mengatasi kemiskinan di daerah itu," terang Kepala Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Waykanan, Mujiyanto.

Zakat 2,5 persen dari hasil kopi oleh masyarakat di kampung yang berbatasan dengan Kecamatan Sekincau, Kabupaten Lampung Barat tersebut berlangsung sejak 2008 sehubungan sebagian besar masyarakat daerah itu memiliki perkebunan kopi.

"Pemrakarsa zakat tersebut ialah Daruni, Kepala Kampung Jukubatu bersama Badan Perwakilan Kampung setempat," papar Mujiyanto seraya menjelaskan peraturan kampung tentang pembayaran zakat sebagai dasar penarikan sudah ada.

Selain sebagai kepala kampung, Daruni, pria kelahiran 7 Juni 1966 itu juga bergiat di Kelompok Tani Simpangrejang.

"Atas upayanya membentuk peraturan kampung yang mempunyai dampak bagi kelestarian lingkungan Daruni pernah kita usulkan untuk memperoleh penghargaan Kalpataru 2011 pada Provinsi Lampung," urai Mujiyanto.

Secara geografis, Kampung Jukubatu terletak pada ketinggian 389 kaki sekitar 04 derajat lintang selatan (LS) dan 104 derajat bujur timur (BT). Adapun dengan kawasan hutan Register 24 Bukitpunggur, kampung tersebut berjarak sekitar 3 kilometer.

"Mengajak masyarakat melakukan pengumpulan zakat sebesar 2,5 persen dari hasil panen kopi untuk pembangunan kampung dan pelestarian lingkungan hidup di hutan kawasan ialah upaya yang patut diapresiasi positif," tegas Mujiyanto.

Karena itu, imbuh dia, secara pribadi dan kelembagaan terima kasih kepada Daruni dan warga Jukubatu ialah kepantasan yang mutlak.

"Zakat kopi 2,5 persen tersebut tentu memiliki nilai, karena pemulihan kerusakan lingkungan ada dengan upaya itu sedikit banyak tentu terjadi, demikian juga dengan pembangunan daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, juga bisa tercapai," pungkasnya.

Read more...

Hukum Adat Bali Mampu Pertahankan Kelestarian Hutan

Hukum adat Bali akan mampu mempertahankan kelestarian hutan yang masih tersisa di Pulau Dewata, jika pemerintah bersedia menyerahkan pengelolaannya kepada masyarakat adat setempat.

"Kami menjamin melalui penerapan hukum adat akan mampu melestarikan pengelolaan hutan yang masih tersisa. Proposal permohonan pengelolaan hutan kepada pemerintah sedang kami persiapkan," kata Ketua Perhimpunan Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali, I Gusti Ngurah Sudiana, Sabtu (26/1).
Ia mengungkapkan hal itu di sela-sela penanaman 1.000 bibit bakau bantuan Telkomsel di Pulau Serangan. Pulau di tenggara Denpasar seluas 110 hektar itu sekitar tahun 1990 direklamasi menjadi 481 hektar, namun kemudian kondisi hutan bakaunya rusak dan keadaannya kini terlantar.
Ngurah Sudiana mengaku prihatin melihat kondisi hutan-hutan di Pulau Dewata, termasuk kawasan Pulau Serangan yang telah menyatu dengan daratan Pulau Bali, sehingga PHDI tergerak untuk mengajukan usulan pengelolaan hutan oleh masyarakat adat.
"Kerusakan hutan oleh penebangan liar maupun atas nama pembangunan, seperti melalui reklamasi pantai, harus dihentikan. Kerusakan Pulau Bali sudah mengkhawatirkan. Setiap musim hujan jadi banjir, sementara perambahan hutan dan areal lainnya untuk pembangunan fasilitas pariwisata tambah marak," katanya.
Selain akan berupaya memperoleh kepercayaan dari pemerintah untuk mengalihkan pengelolaan hutan kepada masyarakat adat, Ngurah Sudiana juga berharap akan lebih banyak lagi kepedulian perusahaan terhadap pelestarian lingkungan seperti yang ditunjukkan Telkomsel.
Hukum adat Bali di antaranya memberikan sanksi pengusiran kepada penduduk yang terbukti melakukan pelanggaran, seperti merusak hutan, sumber air dan berbagai sumber daya lainnya, tambahnya.
Menurut Lurah Serangan, I Made Poniman, yang pada kesempatan itu juga menerima penyerahan bantuan sosial dari Telkomsel sebesar Rp15 juta, untuk menuju Pulau Serangan semula harus menggunakan perahu, dan kondisi lingkungannya lestari oleh rimbunnya hutan bakau.
Namun kemudian direklamasi PT Bali Turtle Island Development (BTIP) untuk Kawasan Pengembangan Wisata Pulau Serangan, namun terbengkalai sejak era reformasi.
"Sudah bertahun-tahun kondisi kawasan yang dijadikan 'benteng bakau'- nya Bali ini terlantar. Yang ada hanya aktivitas petugas keamanan," ujarnya.
Anak Agung Ngurah Gede Kusumawardhana, 'penglingsir' atau sesepuh Puri Agung Kesiman, yang menjadi pendukung penghijauan tersebut, juga memprihatinkan kerusakan lingkungan di Bali, seperti yang dapat dengan mudah dilihat di Pulau Serangan.
"Kerusakan hutan, termasuk kawasan bakau di Pulau Serangan akibat ulah investor ini seharusnya menjadi pelajaran bagi penentu kebijakan pemerintahan. Hati-hatilah dalam memberikan izin untuk pembangunan wisata," kata tokoh keturunan keluarga Puri (Kerajaan) Kesiman itu.
Ia menuturkan, saat penguasaan kawasan pulau yang memiliki nilai spiritual tinggi dengan adanya Pura Sakenan, diwarnai tindakan pemaksaan melibatkan aparat TNI.
"Saya sebagai keluarga Puri yang membawahi Pulau Serangan, saat itu berulang kali dipanggil, diperiksa dan bahkan diancam oleh aparat berseragam," ucapnya.
Namun kenyataannya kini kondisi kawasan Pulau Serangan rusak, bakaunya hancur, penyu (turtle) menghilang karena habitatnya terusik dan nilai spiritual-nya juga luntur seiring mudahnya akses jalan beraspal ke tempat-tempat yang dulu disakralkan.
"Kawasan ini sudah bukan pulau lagi, karena telah menyatu dengan daratan Bali. Kami ingin pengelolaannya dikembalikan kepada masyarakat untuk dipulihkan seperti sedia kala," tutur AA Ngurah Gede pada acara yang juga dihadiri General Manager Network Operation Telkomsel Bali-Nusra,

Read more...

Menjaga Hutan Bali dengan Awig

Secara keseluruhan luas hutan di Bali berdasarkan catatan Dinas Kehutanan Bali mencapai 130 ribu hektar yang terbagi dalam 3 Kesatuan pengelolaan hutan (KPH) yaitu KPH Bali Barat, KPH Bali Tengah dan KPH Bali Timur. Sedangkan kasus pencurian kayu hutan rata-rata mencapai 45 kasus pertahun.
Sebagai upaya menjaga klestarian hutan, Dinas Kehutanan Bali menargetkan dalam 10 tahun kedepan seluruh desa di sekitar kawasan hutan di Bali telah mengadopsi upaya pelestarian hutan dalam awig-awig (aturan adat). Berdasarkan inventarisasi Dinas Kehutanan Bali di Bali terdapat sekitar 300 desa yang wilayahnya berbatasan langsung dengan hutan.
Kepala Bidang Perlindungan dan Konservasi Alam Dinas Kehutanan Bali Made Gunanja menyatakan,  adopsi konsep kelestarian hutan dalam awig-awig bertujuan untuk melibatkan masyarakat desa dalam menjaga kelestarian hutan. Selain itu untuk membangun hutan lestari berbasis pemberdayaan masyarakat.
Gunanja mengungkapkan, pengembangan awig-awig yang mengadopsi konsep kehutanan juga bertujuan mengurangi intervensi masyarakat terhadap hutan.
Dia menambahkanm Dinas Kehutanan Bali juga sedang merancang pembentukan Pecalang Kehutanan yang dikembangkan di setiap desa di sekitar hutan. Hal ini untuk membantu polisi kehutanan menjaga wilayah hutan. Saat ini di Bali terdapat sekitar 118 orang polisi kehutanan. Padahal berdasarkan Kriteria luasan hutan Bali memerlukan sekitar 400 orang polisi kehutanan.
Selain itu, Bali juga hanya memiliki satu petugas penyidik kehutanan. Gunanja mengakui selain mengalami keterbatasan sumber daya manusia, Polisi Kehutanan Bali juga mengalami keterbatasan fasilitas, sehingga kurang optimal dalam pelaksanaan tugas.
”Selain mengalami kekurangan sumber daya manusia dan peralatan, disisi lain kita tidak menyerah sampai disitu. Upaya yang kita kembangkan adalah melibatkan desa pekraman,” kata Gunanja.

Read more...

Dishut Bali Upayakan Pelestarian Hutan Melalui Aturan Adat

Berdasarkan inventarisasi Dihut Bali di Bali terdapat sekitar 300 desa yang wilayahnya berbatasan langsung dengan hutan.
Kepala Bidang Perlindungan dan Konservasi Alam Dihut Bali, Made Gunanja saat ditemui Selebzone.com di kawasan Taman Nasional Bali Barat, Rabu (3/2) siang mengatakan bahwa adopsi konsep kelestarian hutan dalam awig-awig bertujuan untuk melibatkan masyarakat desa dalam menjaga kelestarian hutan dan membangun hutan lestari berbasis pemberdayaan masyarakat.
Made Gunanja mengungkapkan pengembangan awig-awig yang mengadopsi konsep kehutanan juga bertujuan mengurangi intervensi masyarakat terhadap hutan.
“Aturan adat membuat masyarakat takut untuk merusak hutan, sehingga intervensi terhadap kelestarian hutan dapat dikurangi” ujar Made Gunanja.
Selanjutnya Made Gunanja menyebutkan Dihut Bali juga sedang merancang pembentukan Pecalang Kehutanan yang dikembangkan di setiap desa di sekitar hutan dengan tujuan untuk membantu polisi kehutanan menjaga wilayah hutan.

Read more...

Bioteknologi untuk Pelestarian Hutan


Hutan tropis merupakan paru-paru dunia yang berperan besar terhadap kestabilan iklim global. Namun apa jadinya jika hutan semakin tergerus? Dapatkah bioteknologi berperan dalam pelestarian hutan?
redwoodPenurunan luas lahan hutan di Indonesia terjadi sangat cepat, utamanya dipicu oleh naiknya populasi penduduk yang berarti pula naiknya konsumsi kayu, sementara luas hutan tidak bertambah, area bekas penebangan dibiarkan begitu saja tanpa ada upaya serius untuk merehabilitasinya. Belum lagi illegal logging yang semakin memperparah laju penurunan areal hutan. Data tahun 2005 saja menunjukkan bahwa suplai kayu nasional yang tercatat oleh Departemen Kehutanan sebesar 42,3 juta m3 (itu tidak termasuk kayu ilegal lho). Konsumsi global sendiri tahun 1990 sebesar 2.5 miliar m3 dan terus meningkat setiap tahunnya.
Fakta mengenai degradasi hutan tersebut amat memprihatinkan, sebab di samping berpengaruh terhadap perubahan iklim global juga dapat mengganggu ekosistem flora dan faunanya. Sering kita dengar binatang-binatang buas keluar dari hutan dan menyerang lahan penduduk. Jangan salahkan harimau yang memangsa hewan ternak demi sesuap nasi, ups, seonggok daging karena tak kuasa menahan lapar. Itu semua berawal dari semakin sempitnya lahan hutan yang multifungsi.

Peran Bioteknologi

Kita tentu tidak bisa membiarkan hutan kita habis suatu saat nanti, harus ada upaya rehabilitasi hutan yang terencana dan menyeluruh serta melibatkan semua pihak. Dalam acara 1st Genetic Analyzer User Meeting yang diselenggarakan oleh salah satu pemasok mesin DNA sequencer pada tanggal 2 Juni 2009 lalu di Jakarta, tampil sebagai salah satu pembicara yaitu dari Center for Forest Biotechnology and Tree Improvement (CFBTI) Yogyakarta. Beliau memaparkan berbagai tantangan dan upaya yang dilakukan pemerintah melalui CFBTI untuk merehabilitasi hutan di Indonesia.
Tantangan yang dihadapi dalam pembangunan hutan di Indonesia antara lain:
  • Rehabilitasi hutan alami
  • Rehabilitasi hutan yang rusak dan tidak produktif
  • Pembangunan hutan perkebunan
  • Konservasi sumber-sumber genetik, dan
  • Pengendalian pembalakan liar (illegal logging)
cfbti

CFBTI yang berdiri sejak tahun 1984 ini melakukan riset-riset genetik molekuler yang berfokus pada 11 spesies tanaman, yaitu:
  • Jati (Tectona grandis)
  • Spesies yang tumbuh dengan cepat (Acacia spp. dan Eucalyptus spp.)
  • Kayuputih (Melaleuca cajuput)
  • Cendana (Santalum album)
  • Iron wood (Eusideroxylon zwageri)
  • Pulai (Alstonia sp.)
  • Sengon (Falcataria mollucana)
  • Surian (Toona sureni)
  • Merbau (Intsia bijuga)
Lebih lanjut, beliau juga menguraikan riset-riset genetika molekular yang dilakukan lembaganya:

Pembiakan molekuler (molecular breeding)

Pembiakan molekuler dilakukan dengan mengaplikasikan penanda (marker) molekuler untuk perbaikan genetika tanaman melalui analisis paternal, sistem perkawinan dan analisis aliran gen. Dengan melakukan seleksi, pengaturan jarak antara pohon-pohon dalam kebun pembibitan dan uji keturunan (progeny test) untuk mengetahui komposisi genetik serta manajemen kebun pembibitan untuk meningkatkan probabilitas perkawinan antara genotip-genotip yang diinginkan, diharapkan bisa diperoleh pohon-pohon dengan kualitas plus.

Genetika populasi

Saat ini CFBTI mengembangkan suatu database genetik untuk kayu jati di Indonesia untuk melindungi konsumen dari penipuan. Seperti kita ketahui kayu jati merupakan kayu dengan kualitas terbaik dengan harga mahal. Dengan adanya database genetik ini kualitas suatu jenis kayu jati bisa ditentukan dengan tepat sehingga konsumen tidak akan bisa dikelabui oleh para penjual kayu yang kadang-kadang suka berbuat licik.

Biosecurity

CFBTI mengembangkan teknik-teknik berbasis PCR dan DNA Sequencing untuk mendeteksi penyakit pembusukan akar (root rot disease) pada pepohonan.

Botani forensik

Seperti halnya forensik pada manusia untuk melacak asal-usul atau identitas korban maupun pelaku kriminal, pada dunia kayu-kayuan juga diperlukan ilmu botani forensik. Dengan membangun suatu database dan barcode DNA, maka bisa dilacak asal-usul produk-produk kayu, diperoleh dari hutan mana, dan apakah kayu itu diperoleh secara legal atau hasil penebangan liar.

Harus Sinergi

Kerja keras CFBTI kita harapkan dapat menjadi sumbangan yang sangat berarti bagi kelestarian hutan di Indonesia. Namun bioteknologi saja tidak akan cukup tanpa didukung dengan upaya pemerintah dalam bidang lainnya. Berantas terus para pembalak liar terutama mereka yang kelas kakap dan yang berlindung di balik HPH. Jangan ada pula pengalihan fungsi hutan dari hutan lindung ke hutan industri hanya karena sogokan segelintir pengusaha kepada pemerintah setempat. Pemerintah bersama masyarakat juga harus mulai mencari alternatif untuk mengurangi ketergantungan terhadap kayu dan produk turunannya agar konsumsi kayu hutan bisa ditekan. Begitu pula upaya rehabilitasi dan reboisasi hutan harus digalakkan kembali dan melibatkan seluruh lapisan masyarakat.

Read more...

Visi-Misi Gubernur Sulawesi Tengah dan Pelestarian Hutan Lindung

Sulawesi Tengah memiliki potensi hutan lindung dengan luas 1.489.923 ha, merupakan modal dasar pembangunan yang secara optimal dapat dikelola seperti halnya kawasan konservasi atau kawasan produksi. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. 
Secara umum, pemanfaatan pada hutan lindung oleh pihak ketiga yang dilakukan melalui proses perizinan adalah baru sebatas pada pemungutan rotan dan getah damar. Kalaupun ada aktifitas, pemanfaatannya tidak dilakukan melalui perizinan sah. Hal ini diduga karena belum optimalnya sosialisasi tentang pemanfaatan hutan lindung, sehingga masyarakat memiliki kesan dilarang untuk mengakses hutan lindung.
Akibat dari masyarakat tidak merasa mendapat manfaat dari keberadaan hutan lindung, maka masyarakat membiarkan terjadinya perusakan hutan. Keberadaan hutan lindung dipandang sebagai penghambat pembangunan, ketika masyarakat ingin melakukan perluasan lahan perkebunan.
Saat ini, kondisi hutan lindung Sulawesi Tengah secara fisik memprihatinkan, baik sebagai akibat pertambahan penduduk, atau akibat laju pembangunan yang secara langsung dan tidak langsung menekan eksistensi hutan lindung. Perambahan dan pembalakan liar dan bahkan sering terjadi konflik kepentingan antar sektor.
Di Sulawesi Tengah, seperti halnya daerah lainnya di Indonesia, kenyataan ekonomi dan sosial ini adalah penduduk yang umumnya miskin di pedesaan dan hidup dekat dengan kawasan hutan lindung. Kenyataan ekonomi dan sosial ini juga mencakup investasi yang didominasi dan bertumpu pada hasil-hasil sumber daya alam, seperti kayu, bahan tambang dan hasil hutan lainnya, serta kegiatan-kegiatan ekonomi lainnya yang dekat dan kadang-kadang di dalam kawasan lindung.
Keutuhan kawasan hutan lindung tidak dapat dipertahankan tanpa menyediakan bagi penduduk setempat yang hidup bergantung langsung pada sumberdaya di daerah itu, sumberdaya pengganti dan peluang untuk mendapat penghasilan.
Dengan kenyataan di atas, maka upaya pelestarian hutan lindung perlu menyelaraskan pelestarian dengan kepentingan masyarakat setempat dan mendorong pembangunan ekonomi masyarakat yang hidup dekat perbatasan kawasan hutan lindung.
Konsep di atas juga menjadi sinkron dengan visi Gubernur Sulawesi Tengah untuk lima tahun kedepan 2011-2016, yaitu “Sulawesi Tengah sejajar dengan provinsi maju melalui pengembangan agribisnis dan kelautan dengan kualitas sumber daya manusia yang berdaya saing di kawasan timur Indonesia tahun 2020”. Kemudian, untuk mewujudkan visi tersebut, maka dituangkan dalam bentuk misi kegiatan yaitu: (1) percepatan reformasi birokrasi, penegakkan supremasi hukum dan HAM; (2) peningkatan kualitas SDM yang berdaya saing berdasarkan keimanan dan ketaqwaan; (3) peningkatan pembangunan infrastruktur; (4) peningkatan pertumbuhan ekonomi melalui pemberdayaan ekonomi kerakyatan; (5) pengelolaan sumber daya alam secara optimal dan berkelanjutan.
Program dan kegiatan yang dapat dilakukan adalah dengan pemanfaatan hutan lindung oleh masyarakat dengan pendampingan dan bimbingan dari instansi kehutanan. Diharapkan dengan dukungan kebijakan, tertib hukum dan implementasi secara konsisten, kegiatan ini dapat mengurangi laju kerusakan hutan lindung, sekaligus menguatkan ekonomi masyarakat sekitar hutan untuk pengentasan kemiskinan. Beberapa ketentuan yang dapat menjadi pedoman dalam pelaksanaan kegiatan seperti di bawah ini.
Menurut PP No. 38 Tahun 2007 Lampiran AA, pada sub bidang pemanfaatan kawasan hutan lindung, Pemerintah Provinsi memiliki kewenagan pemberian perizinan pemanfaatan kawasan hutan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu yang tidak dilindungi dan tidak termasuk ke dalam Lampiran (Appendix) CITES, dan pemanfaatan jasa lingkungan skala provinsi.
Pemanfaatan kawasan hutan, dilakukan antara lain melalui kegiatan usaha: budidaya tanaman obat; budidaya tanaman hias; budidaya jamur; budidaya lebah; penangkaran satwa liar; rehabilitasi satwa; atau budidaya hijauan makanan ternak (PP No. 6 Tahun 2007 Pasal 24).
Pemungutan hasil hutan bukan kayu yang tidak dilindungi dan tidak termasuk ke dalam Appendix CITES, antara lain berupa: rotan; madu; getah; buah; jamur; atau sarang burung walet (PP No. 6 Tahun 2007 Pasal 26).
Pemanfaatan Jasa Lingkungan Pada Hutan Lindung, antara lain dilakukan melalui kegiatan usaha: pemanfaatan jasa aliran air; pemanfaatan air; wisata alam; perlindungan keanekaragaman hayati; penyelamatan dan perlindungan lingkungan; atau penyerapan dan/atau penyimpanan karbon (PP No. 6 Tahun 2007 Pasal 25).

Read more...

KELESTARIAN HUTAN DI INDONESIA, TANGGUNGJAWAB SETIAP WARGANEGARA

1. Kondisi hutan di Indonesia
Indonesia adalah negara yang sangat terkenal karena memiliki hutan yang sangat luas. Menurut Walhi (2004), Indonesia masih memiliki 10 persen dari luas hutan tropis di dunia. Angka ini cendrung berkurang jika kerusakan hutan tidak segera dikendalikan. Memang sudah cukup banyak produk hukum yang dibuat oleh pemerintah Indonesia, namun penerapannya masih sangat lemah. Penanganan kasus pengrusakan hutan masih kurang serius dan terkesan memberi ruang yang leluasa bagi para pelaku pengrusakan hutan untuk mencari pembenaran diri.

1.1. Potensi hutan di Indonesia
1.1.1. Potensi ekonomi
Dari aspek ekonomi, sektor kehutanan Indonesia menyumbang devisa terbesar kedua setelah sektor migas. Devisa ini sebenarnya perlu dipertahankan tanpa harus merusak hutan. Sebaliknya, dengan semakin tinggi tingkat kerusakan hutan, devisa negara dari sector ini akan mengalami penyusutan.
Di samping itu, hutan adalah pemasok oksigen. Populasi tanaman yang tumbuh di hutan mampu memasok oksigen untuk keperluan manusia serta hewan. Maka tidak heran jika hutan dijuluki paru-paru alam.
Hutan juga memiliki peranan penting dalam penyediaan air tanah. Akar pepohonan secara alamiah mampu mengikat unsur air. Di samping itu, dengan ditampungnya air dalam tanah, bahaya banjir dapat dicegah. Dapat dibayangkan apabila suatu daerah terkena bencana banjir, berapa kerugian material yang diderita para warga di kawasan bencana tersebut? Padahal untuk mencegah bencana tersebut sebetulnya tidak sulit, hanya butuh kesadaran akan pentingnya hutan.

1.1.2. Potensi sosial
Hutan merupakan “wahana interaksi” masyarakat tradisional yang mendiami kawasan sekitarnya. Mereka memanfaatkan hutan sebagai sumber makanan, serta sumber-sumber kehidupan lainnya. Hutan juga merupakan wadah pemersatu para suku di pedalaman. Mereka memiliki banyak kepentingan vital yang sama terhadap hutan yang lestari. Masyarakat tradisional memiliki modal sosial yang berkaitan dengan hutan. Pembahasan tentang hutan dapat menjadi ajang pertemuan bagi para kepala suku dalam komunitas masyarakat adat. Selain itu, secara sosial hutan juga dapat menjadi wahana pertemuan masyarakat kota dan masyarakat pedalaman. Dengan tujuan wisata, masyarakat kota pada hari-hari libur dapat melakukan berbagai aktivitas seperti berkemah, lintas alam dan kegiatan rekreasi lainnya. Kegiatan-kegiatan ini memerlukan fasilitasi masyarakat adat yang mendiami kawasan hutan. Dengan interaksi sosial tersebut, diharapkan semakin meningkat interaksi antara berbagai pihak, yang pada akhirnya bermuara kepada saling pengertian akan pentingnya kelestarian hutan.

1.1.3. Potensi keanekaragaman hayati
Hutan Indonesia sangat terkenal dengan keanekaragaman hayati. Tanaman dan satwa yang hidup dalam hutan merupakan potensi hutan yang tidak boleh diabaikan. 12% dari jumlah spesies binatang menyusui, 16% reptil dan amfibi, 1.519 spesies burung dan 25 % spesies ikan dunia (Walhi 2004). Dalam kaitan dengan keanekaragaman hayati, komponen-komponen hutan tersebut menyediakan berbagai tanaman yang bisa dimanfaatkan sebagai penyedia oksigen, bahan makanan, bahan bangunan, serta obat-obatan. Tidak ketinggalan, hutan merupakan obyek wisata. Diperkaya oleh satwa yang menghuni hutan, semakin lengkap peranan hutan sebagai kawasan yang kaya unsur-unsur kehidupan yang ada di dalamnya.

2. Ancaman terhadap hutan Indonesia
Masalah kerusakan hutan merupakan masalah yang sangat traumatis bagi Indonesia. Pemerintah Republik Indonesia (RI) dinilai kurang serius dalam mengatasi kerusakan hutan. Perdebatan tingkat tinggi pun dilakukan untuk mencari pembenaran diri tanpa melihat fakta bahwa fokus pembahasan adalah kerusakan hutan. Harian Sinar Harapan (4 Mei 2007) mengulas silang pendapat antara Green Peace dengan Pemerintah RI sehubungan dengan masalah kerusakan hutan. Green Peace menilai Indonesia masuk dalam kategori negara dengan laju kerusakan hutan tertinggi di dunia. Sebaliknya, Pemerintah RI membantah tudingan tersebut dengan mengemukakan fakta yang berbeda dengan yang dikemukakan oleh Green Peace. Terlepas dari persoalan seberapa tinggi laju kerusakan hutan, seharusnya yang dilakukan oleh Pemerintah RI adalah semaksimal mungkih menurunkan laju kerusakan hutan. Upaya ini perlu diawali dengan kesadaran bahwa kerusakan hutan itu memang ada. Setelah kesadaran itu tumbuh, diharapkan penanganan kerusakan hutan dapat dilakukan secara berkesinambungan.
Mencermati gejala-gejala yang terjadi saat ini, ditemukan beberapa penyebab kerusakan hutan. Karena tema pembahasan tulisan ini berkaitan dengan pelestarian hutan, maka penulis ingin mengangkat beberapa penyebab kerusakan hutan yang ada dengan tujuan untuk memberi kesadaran kepada setiap warga negara bahwa pelestarian hutan adalah tanggungjawab bersama. Selain itu penulis juga mau menekankan bahwa sekecil apapun penyebab kerusakan hutan, tetap saja ada ekosistem yang berubah.

Berikut ini adalah beberapa penyebab kerusakan hutan :

2.1. Perladangan liar
Walaupun definisi perladangan liar masih simpang siur, namun fakta berbicara bahwa perladangan liar dapat merusak hutan. Jangka waktu rotasi perladangan yang dari waktu ke waktu semakin kecil menyebabkan tidak optimalnya regenerasi hutan. Ducourtieux (2000) menyarankan bahwa regenerasi hutan sebaiknya dilakukan dalam periode 20 tahun. Selama peride tersebut, kondisi tanah secara alamiah dapat diperbaiki. Dengan kondisi sudah diregenerasi, tanah tersebut dapat dimanfaatkan lagi setelah masa regenerasi. Akan tetapi, sejalan dengan laju pertumbuhan penduduk yang semakin cepat, kebutuhan akan lahan garapan pun semakin mendesak. Tidak heran jika saat ini, periode regenerasi hutan dipersingkat menjadi 6 hingga 8 tahun bahkan kurang dari itu.
Selain konsekuensi penurunan produktivitas tanah, perladangan liar juga mengakibatkan menurunnya luas hutan. Berkurangnya areal hutan diikuti pula dengan semakin gersangnya tanah, meluasnya populasi alang-alang, serta jenis rumput-rumputan lainnya yang sangat mudah terbakar di musim kemarau.

2.2. Cara bertani yang perlu dirubah
Di kawasan dataran tinggi Indonesia khususnya di luar Pulau Jawa, sering ditemukan praktek-praktek pertanian yang kurang ramah lingkungan. Memang praktek-praktek ini didukung oleh sejumlah alasan tradisi, namun tetap saja berakibat pada terancamnya kelestarian hutan. Salah satu contohnya adalah pola tebas bakar. Pola ini sangat umum dilakukan para peladang. Pada bulan-bulan Juni hingga Agustus, lahan ditebas. Setelah kayu dan dedaunan dinggap cukup kering, pada bulan September dimulailah ritual pembakaran. Lahan hasil pembakaran tersebut siap untuk ditanami dengan berbagai macam tanaman palawija bergitu hujan turun.
Praktek ini ternyata sangat mengancam kelestarian hutan. Jumlah organisme baik makro maupun mikro menurun drastis sejak hutan ditebas hingga dibakar. Unsur-unsur hara tanah pun ikut berkurang akibat terbakar api atau pun terkikis air dan angin (erosi). Kondisi ini diperparah dengan diabaikannya pembuatan terasering dengan alasan durasi penggunaan lahan yang tidak terlalu lama (maksimal 2 tahun).
2.3. Penyerobotan tanah dan penebangan liar
Kedua kasus ini merupakan tantangan yang cukup serius bagi Indonesia. Dengan alasan meningkatnya kebutuhan akan lahan garapan, terjadi penyerobotan hutan lindung dan hutan tutupan. Tindakan tersebut tentu saja mengganggu ketersediaan air tanah serta kelangsungan hidup populasi tanaman dan hewan yang hidup di dalamnya.
Seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan perumahan yang layak, meningkat pula permintaan terhadap bahan bangunan terutama kayu. Hal ini berakibat pada penebangan liar di sejumlah kawasan hutan di Indonesia. Penebangan liar tidak memperhitungkan kelestarian hutan. Akibatnya, setiap tahun angka kerusakan hutan meningkat mencapai 62.012 hektar (Walhi, 2004).
Pihak yang paling bertanggungjawab atas penebangan liar adalah para pemegang Hak Pengelolaan Hutan (HPH). Jika para pemegang menyadari akan pentingnya hutan dalam konteks keberlanjutan, mungkin penebangan liar bisa dihindari. Sebetulnya sudah ada peraturan tentang tebang pilih, namun dalam pelaksanaan di lapangan, aturan ini tidak dilaksanakan secara benar. Yang terjadi justru penebangan secara brutal tanpa memikirkan dampak lingkungan yang akan terjadi akibat diabaikannya pola tebang pilih.
2.4. Penggembalaan liar
Walaupun tidak terlalu besar pengaruhnya terhadap kerusakan hutan, pengembalaan liar pun berperanan dalam berkurangnya luas hutan. Di beberapa kawasan savannah dan steppa di bagian timur Indonesia, ternak-ternak besar dibiarkan berkeliaran di hutan. Pola pengambilan rumput (grassing) yang tidak terkontrol menyebabkan terbentuknya lahan kritis baru, yang sangat rentan terhadap erosi dan bahaya banjir.
Lahan kritis baru ini sangat sulit ditumbuhi rerumputan baru karena jumlah ternak besar dan ketersediaan rumput tidak diatur dengan baik. Padahal, jika pengontrolan dilakukan menurut kaidah-kaidah penggembalaan yang benar (manajemen pastura), maka dapat dipastikan diraihnya keuntungan ganda; hutan yang terawatt dan ternak yang berproduksi tinggi.

2.5. Kebakaran Hutan
Ada beberapa sebab kebakaran hutan. Pembakaran hutan untuk keperluan berburu merupakan alasan yang paling populer. Untuk mempermudah menangkap hewan buruan, para pemburu membakar kawasan hutan. Tujuannya adalah menjadikan api sebagai perangkap hewan buruan. Nilai jual hewan buruan yang diperoleh biasanya tidak sebanding dengan nilai kerusakan hutan yang disebabkan oleh kebakaran yang disengajakan ini.
Selain untuk kepentingan berburu, pembakaran liar juga disebabkan ulah pelintas hutan yang tidak bertanggungjawab. Sering terjadi bahwa para pelintas membuang puntung rokok yang belum sempat dimatikan. Api yang berasal dari puntung rokok ini sangat mudah membakar rerumputan kering, dan menjalar ke mana-mana dalam kawasan hutan.

3. Mencari solusi atas kondisi hutan yang terancam
Dari uraian-uraian di atas, jelas kelihatan bahwa hutan memiliki manfaat yang sangat besar terhadap kelangsungan hidup manusia. Setiap warganegara Indonesia mendapat keuntungan langsung dari hutan, mulai dari oksigen yang dihirup hingga keuntungan-keuntungan lainnya. Bagi para pihak yang memperoleh keuntungan-keuntungan tersebut, perlu ditumbuhkan kesadaran bahwa simbiosis mutualisme antara manusia dan hutan perlu dipertahankan. Eksploitasi hutan secara berlebihan dapat merusak hubungan simbiosis antara manusia dan hutan. Implikasinya dapat dilihat melalui bencana banjir, kebakaran, meningkatnya suhu harian serta berubahnya iklim mikro.
Selama ini, manusia masih melihat hutan berpotensi karena pepohonan yang tumbuh di dalamnya. Orang mengasosiasikan hutan sebagai penyedia bahan bangunan. Namun sebetulnya peranan hutan bukan hanya sebatas penyedia bahan bangunan. Masih banyak peranan vital lainnya yang berikan pleh hutan. Sulit dibayangkan apabila hutan benar-benar habis. Bagaimana manusia dan hewan bisa memperoleh oksigen dan sumber makanan lainnya ?
Melihat penyebab-penyebab kerusakan hutan di atas, sebetulnya tuntutan untuk dikemnbalikannya fungsi hutan secara jelas sudah sangat mendesak. Fungsi hutan dapat terjaga apabila kesadaran akan simbiosis mutualisme antara manusia dan hutan sudah terbangun. Kesadaran tersebut dapat dimotivasi dengan beberapa cara antara lain :
1) Membangun diskusi yang baik dengan para peladang berpindah. Umumnya para peladang berpindah hanya mengikuti tradisi nenek moyang. Ketika nenek moyang mereka melakukan pola perladangan berpindah, jumlah lahan pada saat itu sangat memadai. Regenerasi dapat dilakukan dalam periode 20 tahun. Akan tetapi, pada saat ini sangat sulit melakukan regenerasi dengan rentang waktu yang sama. Dengan terbangunnya diskusi yang baik, para peladang dapat dimotivasi untuk melakukan innovasi dalam menggarap lahan. Jika pada tempo dulu nenek moyang mereka melakukan regenerasi dalam waktu relatif lama untuk mengembalikan unsur-unsur organik tanah, saat ini para peladang bisa melakukan penyuburan kembali tanah dengan cara pemupukan, pembuatan terrace-ring (terasering) untuk mencegah erosi, serta melakukan variasi pola tanam.
2) Melakukan sosialisasi tentang pentingnya hutan lindung. Sosialisasi ini perlu diikuti oleh berbagai pihak yang berkepentingan agar informasi yang disampaikan dapat diterima dengan baik. Banyak orang belum menyadari hubungan antara hutan lindung dengan pencegahan bencana banjir. Karena itu, upaya meningkatkan pemahaman akan fungsi hutan perlu mendapat prioritas.
3) Melakukan kontrol yang ketat terhadap perusahan-perusahan yang mendapat ijin menebang hutan. Hal ini penting karena penyebab terbesar kerusakan hutan berada pada tangan oknum-oknum ini. Kontrol yang ketat tentu saja perlu didukung oleh produk hukum yang mampu memberi efek jera kepada para pelaku pengrusakan hutan.
4) Sehubungan dengan intensifikasi pertanian, maka pola peternakan pun perlu mendapat perhatian yang serius. Perlu dibuat peraturan tentang penggembalaan ternak di kawasan hutan. Selain itu, peran penyuluh pertanian untuk mempromosikan pola peternakan yang lebih efektif dan efisien kiranya dapat menumbuhkan kesadaran untuk mengurangi dampak lingkungan akibat penggembalaan liar.
5) Beberapa daerah telah mengeluarkan Peraturan daerah (Perda) tentang pengendalian kebakaran hutan. Secara teknis, perda-perda tersebut memuat aturan-aturan yang tegas tentang larangan membawa bahan-bahan yang mudah terbakar (misalnya korek api, rokok) saat melintasi kawasan hutan atau saat melakukan pendakian gunung. Sangsi berupa pembayaran uang denda yang cukup tinggi diharapkan dapat memberi efek jera serta kesadaran akan pentingnya kelestarian hutan.
4. Kesimpulan
Hutan di Indonesia adalah modal bangsa yang perlu dilestarikan. Mengingat banyaknya manfaat yang diperoleh dari pelestarian hutan, maka upaya ini merupakan suatu keharusan. Dalam kaitan dengan ini, membangun kesadaran sangat penting untuk mamperoleh dukungann aktif secara berkelanjutan. Kesadaran ini perlu ditumbuhkan secara menyeluruh dalam segala aspek baik aspek ekonomi hutan, aspek sosial serta keanekaragaman hayati hutan. Jika aspek-aspek ini telah dipahami dengan baik, penghargaan akan hutan akan semakin meningkat.
Perlu pula dipahami bahwa tugas pelestarian hutan merupakan tugas bersama setiap warga negara. Hutan memberikan banyak keuntungan kepada masyarakat Indonesia, karena itu sepatutnyalah sebagai warganegara yang baik dituntut rasa memiliki dan rasa tanggung jawab terhadap hutan.
*) Penulis : Mahasiswa pada program MSc in Management of Agro-ecological Knowledge and Social Changes, Wageningen University and Research Centre, The Netherlands.

Read more...

Penurunan emisi karbon melalui sertifikasi kelestarian hutan produksi

Dalam mengurangi pemanasan global, COP 13 telah sepakat atas peran penting pengelolaan hutan lestari dalam menurunkan emisi karbon melalui skema REDD+. Melalui skema REDD+, pengelola hutan yang telah mendapatkan sertifikasi pengelolaan hutan lestari dimungkinkan untuk mendapatkan tambahan insentif jasa lingkungan berupa kredit karbon. Indonesia mendukung kesepakatan global tersebut dengan menargetkan pengurangan emisi karbon sebesar 26% pada 2020 dimana 14%-nya diharapkan datang dari sektor kehutanan yang dikelola secara lestari.
Sertifikasi pengelolaan hutan lestari di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1994 dengan kelompok kerja ekolabel yang di ketuai oleh Prof. Emil Salim. Sampai saat ini hutan yang telah tersertifikasi di Indonesia kurang lebih 1,5 juta ha dengan skema LEI dan 1 juta ha dengan skema FSC. Sertifikasi ekolabel yang kredibel dapat memastikan bahwa unit manajemen Kehutanan menerapkan pengelolaan hutan yang bertanggungjawab dengan penerapan Best Management Practices (BMP) diantaranya upaya-upaya yang dapat menurunkan pelepasan karbon dengan mengurangi degradasi hutan dan mencegah deforestasi.
“Pengurangan emisi dari pengelolaan hutan yang dikelola secara lestari dapat menurunkan emisi sekitar 7% atau separo dari total target pengurangan emisi sektor kehutanan (14 %) melalui proses perlindungan areal hutan dari konversi hutan alam dan penebangan berdampak rendah ,” ujar Agung Prasetyo, Direktur Eksekutif LEI. “Sertifikasi merupakan instrumen pasar yang telah digunakan oleh pemerintah, pemerhati lingkungan, dan bahkan masyarakat petani hutan rakyat untuk membuktikan hutan telah dikelola secara lestari. Manfaat jasa lingkungan melalui perdagangan karbon dari hutan hanya dapat terasa dari hutan lestari yang terjaga fungsinya, karena itu sertifikasi dapat digunakan sebagai instrumen dalam penurunan emisi karbon dari hutan,” imbuhnya.
Sementara itu, WWF Indonesia melalui program Global Forest and Trade Network (GFTN) mendukung upaya sertifikasi hutan dengan memberikan fasilitasi bagi perusahaan – perusahaan pengelola hutan dan pengolah hasil hutan yang berkomitmen tinggi dalam mencapai sertifikat kredibel. “Kami membangun kapasitas pelaku pengelolaan hutan dan industri, menciptakan kondisi pasar yang mendorong para produsen untuk mengelola hutan secara bertanggungjawab dan untuk meningkatkan nilai ekonomi pengelolaan hutan lestari. Kedepannya kami akan menggandengkan usaha pencapaian sertifikasi dengan pasar karbon baik itu yang bersifat voluntary maupun persiapannya dalam skema REDD”, kata Aditya Bayunanda, Koordinator GFTN-Indonesia. Saat ini GFTN telah memfasilitasi 39 perusahaan yang terdiri dari HPH, HTI dan industri dengan target 3 juta hektar hutan di Indonesia tersertifikasi pada akhir tahun 2013”, tambah Aditya.
Kerjasama yang akan dibangun dengan parapihak (stakeholder) Kehutanan meliputi penguatan sistem sertifikasi diantaranya dengan memasukkan komponen jasa lingkungan seperti hidrologi, karbon, biodiversitas serta fasilitasi unit manajemen kehutanan agar dapat memperoleh manfaat ekonomi dari upaya memelihara dan menjaga kelestarian hutan dan jasa lingkungan yang dihasilkannya.
Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi:
  • Indra S. Dewi, Lembaga Ekolabel Indonesia, indra@lei.or.id, ph: +62-251-8340744 dan 08128161339
  • Dita Ramadhani, WWF Indonesia (GFTN), dramadhani@wwf.or.id, ph: +62-21-5761070 dan 085882823447
Catatan untuk Redaksi:
Tentang WWF
WWF adalah organisasi konservasi global yang mandiri dan didirikan pada tahun 1961 di Swiss, dengan hampir 5 juta supporter dan memiliki jaringan yang aktif di lebih dari 100 negara dan di Indonesia bergiat di lebih dari 25 wilayah kerja lapangan dan 17 provinsi. Misi WWF-Indonesia adalah menyelamatkan keanekaragaman hayati dan mengurangi dampak ekologis aktivitas manusia melalui: Mempromosikan etika konservasi yang kuat, kesadartahuan dan upaya-upaya konservasi di kalangan masyarakat Indonesia; Memfasilitasi upaya multi-pihak untuk perlindungan keanekaragaman hayati dan proses-proses ekologis pada skala ekoregion; Melakukan advokasi kebijakan, hukum dan penegakan hukum yang mendukung konservasi, dan; Menggalakkan konservasi untuk kesejahteraan manusia, melalui pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan. Selebihnya tentang WWF-Indonesia, silakan kunjungi website utama organisasi ini di www.panda.org; situs lokal di www.wwf.or.id Tentang Global Forest & Trade Network (GFTN)
Global Forest & Trade Network (GFTN) merupakan salah satu inisiatif WWF untuk mengeliminasi pembalakan liar (illegal logging). Jaringan GFTN mempromosikan manajemen bertangunggjawab untuk hutan-hutan terancam di Amazon, Amur-Heilong (Rusia), Kalimantan, Sumatra, Congo, Mekong (Asia Tenggara) dan wilayah hutan lain yang terancam.
GFTN memfasilitasi perusahaan-perusahaan dalam mengevaluasi pembelian dan pengimplementasian action plan untuk menjamin bahan baku yang lestari. Dengan memfasilitasi jaringan-jaringan perdagangan antara perusahaan-perusahaan yang berkomitmen terhadap hutan bertanggungjawab, GFTN menciptakan kondisi pasar yang membantu konservasi hutan serta memberikan keuntungan ekonomi dan sosial untuk bisnis dan masyarakat yang bergantung pada hutan. Lebih dari 360 perusahaan menjadi anggota Global Forest & Trade Network, termasuk manufaktur, importir, distributor, retailer, pemilik hutan dan pengelola hutan.
GFTN-Indonesia memiliki 38 anggota, terdiri atas 11 Unit Manajemen Hutan dan 27 trade (manufaktur). Dengan total areal hutan 950 ribu Ha dengan total turnover untuk trade kurang lebih 4 trilyun rupiah (2008).
Kunjungi www.gftn.panda.org dan www.wwf.or.id/gftn untuk info lebih lengkap.

Read more...

BANTUAN DANA USD 1 JUTA UNTUK PELESTARIAN HUTAN INDONESIA

Indonesia sebagai salah satu negara produsen utama kayu tropis dunia pada sidang International Tropical Timber Council ke 47 kali ini, mendapatkan bantuan sebesar US$ 1.128.654 dari organisasi International Tropical Timber Organization (ITTO) untuk mengimplementasikan 2 program pelestarian hutan di Indonesia. Jumlah bantuan tersebut cukup signifikan, yaitu 12.1% dari total bantuan yang diberikan ITTO pada tahun 2011, dimana Indonesia merupakan satu-satunya negara yang mendapatkan pembiayaan bagi 2 program dari 12 program yang dibiayai tahun 2011. Anggaran tersebut dialokasikan untuk program “Model Capacity Building for Efficient and Sustainable Utilization of Bamboo Resources in Indonesia” serta program lanjutan “Promoting biodiversity conservation in Betung Kerihun National Park (BKNP) as the trans-boundary ecosystem between Indonesia and State of Sarawak Malaysia (Phase III)”. Bantuan tersebut merupakan salah satu hasil Sidang ke 47 Dewan Kayu Tropis Internasional (47th Session of the International Tropical Timber Council) yang telah berlangsung tanggal 14-20 November 2011 di kota kolonial La Antigua Guatemala, dan dihadiri oleh 36 negara plus perwakilan 27 negara Uni Eropa. Delegasi RI pada dipimpin oleh Dr. Agus Sarsito, Kepala Pusat Kerjasama Luar Negeri Kementerian Kehutanan RI, yang juga memegang jabatan sebagai Chairman Committee on Finance and Administration (CFA), salah satu kelompok kerja utama dalam sidang tahunan tersebut. “Delegasi Indonesia telah bekerja keras untuk menyuarakan kepentingan kelompok negara produsen kayu tropis, terutama negara-negara berkembang, serta mengawal kepentingan nasional dalam pengelolaan hutan Indonesia secara lestari.” demikian ungkap Dr. Agus Sarsito seusai penutupan sidang pada hari Sabtu, 19 November 2011. Selain pendanaan berbagai program pelestarian hutan, setiap tahun ITTO juga memberikan dukungan biaya bagi peneliti akademis yang bergerak di sektor kehutanan (Fellowship Awards). Tahun ini Indonesia mendapatkan dukungan biaya penelitian bagi Rita Kartika Sari, peneliti program doktor IPB untuk “Investigation of the Novel Anticancer Substances Originated from Indonesian Woods in Community Forest”, serta Heni Kurniasih, kandidat doktor University of Melbourne, Australia, dengan topik “Indonesian Community Forestry Management Approaches”. Dr. Teguh Rahardja dari Pusat KLN Kemhut RI juga berhasil terpilih menjadi anggota Selection Panel bagi penentuan Fellowship Award tahun 2012. Sidang ke 47 ITTC juga telah berhasil mendesak beberapa negara produsen lainnya untuk segera meratifikasi International Tropical Timber Agreement (ITTA) tahun 2006, yang akan mensyaratkan pemerintah terkait untuk menjalankan praktek-praktek Sustainable Forestry Management, serta menguatkan kerjasama dalam rangka pengentasan penjualan kayu ilegal. Selama ini Indonesia sangat prihatin dengan posisi Brazil sebagai salah satu penghasil utama kayu tropis dunia dan negara produsen pemilik hak suara terbesar di ITTO yang justru belum meratifikasi perjanjian utama ITTO tersebut. Brazil menyatakan berharap dapat melakukan ratifikasi ITTA 2006 pada pertengahan tahun 2012.

Read more...

Usaha, Cara & Metode Pelestarian Hutan Agar Tidak Gundul dan Rusak Akibat Eksploitasi Berlebih Demi Melestarikan Lingkungan

Berikut di bawah ini adalah teknik dan cara yang dapat digunakan untuk menjaga hutan kita tetap terjaga dari tangan-tangan perusak jahat. Perambahan hutan tanpa perencanaan dan etika untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya sangatlah berbahaya karena dapat merusak alam dan habitat serta komunitas hewan yang ada di dalamnya.
1. Mencegah cara ladang berpindah / Perladangan Berpindah-pindah
Terkadang para petani tidak mau pusing mengenai kesuburan tanah. Mereka akan mencari lahan pertanian baru ketika tanah yang ditanami sudah tidak subur lagi tanpa adanya tanggung jawab membiarkan ladang terbengkalai dan tandus. Sebaiknya lahan pertanian dibuat menetap dengan menggunakan pupuk untuk menyuburkan tanah yang sudah tidak produktif lagi.
2. Waspada-Waspadalah & Hati-Hati Terhadap Api
Hindari membakar sampah, membuang puntung rokok, membuat api unggun, membakar semak, membuang obor, dan lain sebagainya yang dapat menyebabkan kebakaran hutan. Jika menyalakan api di dekat atau di dalam hutan harus diawasi dan dipantau agar tidak terjadi hal-hal yang lebih buruk. Kebakaran hutan dapat mengganggu kesehatan manusia dan hewan di sekitar lokasi kebakaran dan juga tempat yang jauh sekalipun jika asap terbawa angin kencang.
3. Reboisasi Lahan Gundul dan Metode Tebang Pilih
Kombinasi kedua teknik adalah sesuatu yang wajib dilakukan oleh para pelilik sertifikan HPH atau Hak Pengelolaan Hutan. Para perusahaan penebang pohon harus memilih-milih pohon mana yang sudah cukup umur dan ukuran untuk ditebang. Setelah meneang satu pohon sebaiknya diikuti dengan penanaman kembali beberapa bibit pohon untuk menggantikan pohon yang ditebang tersebut. Lahan yang telah gundul dan rusak karena berbagai hal juga diusahakan dilaksanakan reboisasi untuk mengembalikan pepohonan dan tanaman yang telah hilang.
4. Menempatkan Penjaga Hutan / Polisi Kehutanan / Jagawana
Dengan menempatkan satuan pengaman hutan yang jujur dan menggunakan teknologi dan persenjataan lengkap diharapkan mempu menekan maraknya aksi pengrusakan hutan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Bagi para pelaku kejahatan hutan diberikan sangsi yang tegas dan dihukum seberat-beratnya. Hutan adalah aset / harta suatu bangsa yang sangat berharga yang harus dipertahankan keberadaannya demi anak cucu di masa yang akan datang.

Read more...

Jumat, 18 November 2011

Studi Pelestarian Hutan Mangrove Melalui Pendekatan Mina Hutan Di Kabupaten Kutai Kartanegara

Wilayah pesisir umumnya merupakan tempat pemusatan berbagai kegiatan, seperti pemukiman, pertambakan, pariwisata (pariwisata bahari), sarana perhubungan dan sebagainya. Aktivitas-aktivitas tersebut asset yang besar dalam menunjang devisa negara. Namun sebagai akibat multi kegiatan manusia, baik yang menggunakan teknologi maju maupun tradisional, seringkali menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan yang mengakibatkan turunnya potensi sumberdaya di wilayah pesisir (Supriharyono, 2003).
Wilayah Pesisir adalah daerah peralihan antara Ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut (Undang-Undang  No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Keci / UU No.27/2007 PWP-3K pasal 1 ayat 2). Perairan Pesisir adalah laut yang berbatasan dengan daratan meliputi perairan sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai, perairan yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal, rawa payau, dan laguna (UU No.27/2007 PWP-3K pasal 1 ayat 7).
Berdasarkan sudut pandang ekologis, wilayah pesisir dan laut merupakan lokasi beberapa ekosistem yang unik dan saling terkait, dinamis dan produktif. Beberapa ekosistem utama di wilayah pesisir dan laut adalah Estuaria, Hutan Mangrove,  Padang Lamun, Terumbu Karang, Pantai (berbatu, berpasir dan berlumpur) dan Pulau-Pulau Kecil. Estuaria merupakan daerah bertemunya dua massa air yang berbeda yaitu massa air tawar dan massa air laut (bersalinitas tinggi) dimana terjadi proses pengadukan (mixing process).

Kehadiran hutan mangrove pada ekosistem pesisir merupakan zona peralihan antara ekosistem darat dan laut, sehingga kewenangan pengelolaan mengharuskan multi sektoral/instansi. Hal tersebut tergambar dari banyaknya pihak yang berkepentingan dengan wilayah pesisir terutama pemanfaatan hutan mangrove sehingga memicu munculnya konflik yang tidak kunjung selesai. Multi sektoral tersebut antara lain, yaitu sektor perikanan, perhubungan, industri dan perdagangan, pertambangan, kehutanan, permukiman dan pariwisata (Saparinto, 2007) maupun sosial ekonomi masyarakat. Kecenderungan banyaknya instansi yang berwenang mengelola hutan mangrove menimbulkan masalah baru yaitu ”tumpangtindihnya kebijakan”, mempertajam konflik sektoral dan penyelesaian permasalahan dilapangan saling lempar tanggung jawab.

B. Permasalahan
Adanya kondisi semakin rusaknya hutan mangrove hampir diseluruh pesisir Indonesia tergambar dari semakin menurunnya luasan mangrove yang terkonversi bukan menjadi peruntukannya. Sebagai contoh kasus penanganan hutan mangrove di Delta Mahakam yaitu konversi hutan mangrove menjadi kawasan pertambakan (budidaya udang dan bandeng) di Delta Mahakam, bahkan ada kecenderungan pelaksanaan aturan untuk green belt tidak diindahkan (Irawan dan Sari 2004). Kondisi aktual hutan mangrove yang ada meliputi 79% dari total keseluruhan Delta Mahakam atau seluas 85.558 hektar dari 108.251,31 hektar, dan 51.352,11 hektar dari 85.558 hektar atau 60,02% yang terbuka oleh tambak (Sumaryono, 2007).
Adanya upaya Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dalam merevisi Rencana Tata Ruang Wilayah Perubahan (RTRWP) Kalimantan Timur yang merekomendasikan untuk melakukan rekonstruksi tata batas, terhadap Delta Mahakam. Hal ini dikarenakan adanya perubahan tata ruang provinsi dan kabupaten/kota serta menyesuaikan kembali luas kawasan-kawasan yang diusulkan menjadi 50% tutupan bakau dan nipah, 50% untuk budidaya tambak yang ramah lingkungan. Sehingga pengembangan budidaya mangrove, aneka usaha kehutanan dan perikanan kelautan dan meningkatkan peran kelembagaan untuk menanggulangi kerusakan lingkungan, namun pengusulan RTRWP tersebut belum mendapatkan persetujuan.
Kondisi aktual tersebut menunjukkan adanya perubahan fungsi ekosistem hutan mangrove menjadi lahan budidaya. Tentunya jika hal tersebut terus berlangsung maka tidak dapat dipungkiri, kita akan kehilangan hutan mangrove di pesisir dan Delta Mahakam Kabupaten Kutai Kartanegara. Sejalan dengan hal tersebut perlunya dilakukan pendekatan strategis, yaitu pendekatan program mina hutan dalam upaya mengendalikan dan meminimalisir konversi hutan mangrove.
C.  Ruang Lingkup Studi
Ruang lingkup obyek studi, meliputi :

  1. Identifikasi sistem pengelolaan tambak yang sedang dilakukan oleh masyarakat.
  2. Stakeholders dan masyarakat yang bersinggungan langsung dengan pengelolaan hutan mangrove.
  3. Lokasi studi terdiri dari Kecamatan Samboja, Muara Jawa, Anggana, Muara Badak dan Marang Kayu Kabupaten Kutai Kartanegara.
  4. Kebijakan (Undang-Undang dan peraturan) yang mengatur pengelolaan hutan mangrove.
D. Tujuan Penelitian
Tujuan dari studi pelestarian hutan mangrove melalui pendekatan mina hutan di Kabupaten Kutai Kartanegara, yaitu :
  1. Mengidentifikasi  sistem pengelolaan tambak yang sedang dilakukan oleh masyarakat
  2. Menghimpun data dan informasi mengenai persepsi stakeholder dan masyarakat yang bersinggungan langsung dengan pengelolaan dan pemanfaat hutan mangrove terhadap pelestarian hutan mangrove melalui pendekatan mina hutan.
  3. Merumuskan rekomendasi/model dalam pelestarian hutan mangrove melalui pendekatan mina hutan.
E. Keluaran (Output)
Output dari studi ini adalah :
  1. Teridentifikasinya sistem pengelolaan tambak yang sedang dilakukan oleh masyarakat.
  2. Terhimpunnya data dan informasi mengenai persepsi stakeholder dan masyarakat yang bersinggungan langsung dengan pengelolaan dan pemanfaat hutan mangrove terhadap pelestarian hutan mangrove melalui pendekatan mina hutan.
  3. Terumuskannya rekomendasi dalam pelestarian hutan mangrove melalui pendekatan mina hutan.

Read more...

Hijaukan Kembali Kota Bogor Dengan Hutan Kota

Sekretaris Daerah Kota H Dody Rosadi mengakui bahwa pembangunan di Kota Bogor kurang memperhatikan wawasan lingkungan. Banyak pohon yang ditebang, Tapi tidak dibarengi dengan penanaman pohon yang baru, ujarnya ketika pembuka pembekalan pengurus Majlis Ulama Indonesia (MUI) Kota Bogor di Balaikota Bogor,  Sabtu lalu.
Makanya, lanjut Dody, pihaknya sudah memprogramkan menghijauhkan kembali Kota Bogor dengan hutan kota. “ Rencananya kedepan tanah-tanah masyarakat yang sumpek dan padat akan kita bebaskan, untuk selanjutnya kita tanami dengan pohon tanaman keras seperti pohon kenari dan mahoni yang bisa tahan lama sehingga diharapkan Kota Bogor akan kembali sejuk.  “Nanti kita akan ajukan anggarannya dan  diharapkan DPRD akan bisa menyetujuinya, “.
Dibangunnya kembali hutan kota untuk kelestarian, keserasian dan keseimbangan ekosistem perkotaan yang meliputi unsur lingkungan, sosial dan budaya. Ide ini, dilontarkan Sekdakot Bogor H. Dody Rosadi karena melihat semakin terkikisnya ekosistem lingkungan yang terjadi di Kota Bogor.  Ide ini memang tidak berlebihan apalagi kalau melihat angka rata-rata harapan hidup yang semakin meningkat. “ katanya.
Karena itu, dipandang perlu untuk memperbaiki dan menjaga iklim mikro dan nilai estetika, demi menciptakan keseimbangan dan keserasian lingkungan fisik kota serta mendukung pelestarian keanekaragaman hayati pada umumnya.  “Ini sebuah harapan besar, kedepan Kota Bogor harus menciptakan konsep hutan-hutan kota yang baru selain dari kebun Raya Bogor yang kita miliki saat ini sebagai paru-parunya ibukota, “ katanya
Menurutnya, ide membangun kawasan-kawasan hutan kota, sejalan dengan adanya Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2002 tentang penyelenggaraan hutan kota.
Beliau menyebutkan, didalam peraturan tersebut, kawasan hutan kota dapat dipandang sebagai areal pelestarian di luar kawasan konservasi, karena pada areal ini dapat dilestarikan flora dan fauna secara exsitu.
Pejabat yang bergelar Master Technic Hidrolyck di India itu menyebutikan, hutan kota bermanfaat untuk menjadikan udara yang lebih bersih dan sehat, Apalagi, kendaraan bermotor merupakan sumber utama timbal yang mencemari udara di daerah perkotaan.  Diperkirakan, sekitar 60-70 persen dari partikel timbal di udara perkotaan berasal dari kendaraan bermotor.

Read more...

Jumat, 11 November 2011

Pelestarian Hutan: Pelibatan Masyarakat Adat Minim


BANDA ACEH,Krisis kehutanan yang terjadi Aceh, salah satunya karena sangat kurangnya pelibatan masyarakat pemangku adat dalam langkah pelestarian. Pemerintah dinilai lebih mengutamakan kepentingan pemilik modal yang cenderung eksploitatif dalam mengelola hutan Aceh.
Demikian pemikiran yang berkembang dalam acara seminar lingkungan yang digelar Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Canniva Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, di Banda Aceh, Selasa (10/5).
Dalam seminar itu hadir sebagai pembicara staf pengajar Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Unsyiah, Monalisa, Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh, TM Zulfikar, Ketua Forum Mukim Aceh Besar, Nasrudin, dan Wakil Gubernur Aceh M Nazar yang diwakili Kepala Biro Perekonomian Provinsi Aceh, T Sofyan.
Monalisa mengungkapkan, hampir pada semua tahapan pelestarian hutan yakni mulai dari penyuluhan dan langkah pelestarian, masyarakat adat tak dilibatkan. Kalaupun ada, tak ada pemuka adat yang jadi tokoh utama. Padahal, dalam struktur sosio kultural masyarakat Aceh, pemuka adat mempunyai peran penting dalam berinteraksi dengan alam.
Kondisi tersebut, lanjut Monalisa, terjadi karena minimnya komunikasi pemuka adat dengan pemerintah, serta beberapa mitra lainnya dalam pelestarian hutan. Hambatan lainnya adalah soal kelembagaan sosial.
"Ada sosialisasi, namun disampaikan dalam bahasa yang tak dimengerti pemuka adat. Ada juga keengganan dalam menyampaikan aspirasi kepada pemerintah, karena sering lamban untuk menindaklanjuti. Sejumlah isu lingkungan seperti moratorium logging, pemanfaatan karbon (REDD), dan hutan masyarakat adalah isu lingkungan yang tak pernah dimengerti," kata Monalisa.
Menurut Zulfikar, kebijakan pemerintah dalam soal kehutanan selama ini tak berdampak pada terciptanya kelestarian, karena di sisi lain praktik eksploitasi kawasan hutan untuk pertambangan, perkebunan, dan penebangan cenderung dibiarkan. Bahkan, pemerintah pusat maupun daerah masih saja mengeluarkan izin pertambangan di Aceh.
"Pemerintah kita sepertinya cukup puas mendapat keuntungan yang tak lebih dari 10 persen, bahkan lebih kecil dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan yang berdalih investasi. Pendapatan dari sektor pertambangan hanya 3-4 persen, jauh lebih kecil dibandingkan dengan kerusakan yang dialami hutan kita," ujar Zulfikar.
"Masyarakat sekitar hutan hanya jadi penonton. Hutan sekitar mereka dijarah namun mereka tetap miskin," tambahnya.
Minimnya pelibatan itu, membuat masyarakat pun enggan menjaga hutan dari perambahan besar-besaran. Konflik lahan kehutanan pun menjadi sangat sering terjadi di wilayah Aceh, khususnya antara masyarakat pemangku adat dengan perusahaan perkebunan ataupun pertambangan.
Nasrudin mengungkapkan, sebagai bagian dari masyarakat adat, sampai saat ini nyaris tak ada pelibatan kepala mukim dalam pelestarian hutan. Istilah-istilah semacam REDD, moratorium, pun tak pernah dijelaskan tuntas dan apa manfaat yang didapat.
Kami sebagai pemangku adat terus terang tak mengerti dengan langkah pemerintah mengurusi hutan. Pemerintah hanya sibuk menarik investor. Tapi, yang masuk ternyata investor pertambangan yang bisanya mengeksploitasi hutan," kata Nasrudin.
Sementara M Nazar mengatakan, sebenarnya dalam upaya pelestarian kehutanan di Aceh, pelibatan peran masyarakat adat sudah diupayakan. Ini seperti diatur dalam Qanun 10 Tahun 2008, yang mengatur fungsi dan jabatan serta struktur masyarakat adat dalam mengurusi sumber daya alam.
"Misalnya, Panglima Laot bertugas memimpin persekutuan adat di laut. Panglima Uteun menjalankan fungsi menegakkan norma adapt yang berkaitan dengan etika memasuki dan mengelola hutan adap,

Read more...

Kamis, 10 November 2011

Gubernur : Semua Pihak Harus Menjaga Kelestarian Hutan

BANDUNG (Lintasjabar.com),- Gubernur Jawa Barat mendorong pengelolaan hutan yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat sekitar hutan. Pola pengelolaan itu cukup efektif menekan laju kerusakan hutan. Hal itu disebabkan, masyarakat sekitar hutan turut menjaga kelestarian hutan disamping mereka juga mendapatkan manfaatnya. Terpenting lanjut Heryawan, agar masyarakat sekitar hutan dapat memanfaatkan sumberdaya hutan dengan baik melalui pengelolaan kemitraan ataupun kerjasama pengelolaan kawasan konservasi. Semua upaya pelestarian hutan itu dijalankan dalam rangka mewujudkan Jawa Barat sebagai Green Province pada tahun 2013. Hal itu dinyatakan Heryawan saat Rapat Koordinasi Penanggulangan Masalah Kehutanan di Gedung Bappeda Provinsi Jawa Barat, Bandung, Jl. Ir. H. Juanda Bandung, Selasa (14/12).
Lebih lanjut Heryawan menegaskan kembali komitmennya dalam memberantas kegiatan illegal logging dan perambahan hutan. Tentunya untuk melaksanakan itu membutuhkan dukungan semua pihak. Untuk itu tepat bila dalam menjaga kelestarian hutan melibatkan masyarakat, diantaranya melalui Asosiasi Kepala Desa Sekitar Hutan Negara (AKSHN), Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH), Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat (PKSM) dan kelompok Pengamanan Hutan Swakarsa (Pamhut Swakarsa). “Saat pertama kali dilantik, saya meninjau dan mendukung operasi pemberantasan illegal logging di Hutan Cigugur Ciamis. Meski demikian masyarakat juga harus diberikan akses memanfaatkan hutan sebaik mungkin,” tuturnya.
Berdasarkan data Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat, luas hutan di Jawa Barat mencapai 21,06 persen dari luas wilayah Jawa Barat. Jumlah luasan itu masih di bawah ketentuan Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 yang mensyaratkan luas hutan di suatu wilayah lebih besar dari 30 persen. Berdasarkan hal itu, maka Pemerintah Provinsi Jawa Barat memiliki arah kebijakan strategis terkait dengan upaya pelestarian sumberdaya alam dan ekosistemnya. Seperti membentuk Tim Pengamanan, mengeluarkan surat edaran atau keputusan Gubernur yang mendorong penegakan hukum bidng kehutanan. “Semua itu dalam rangka memberikan landasan yang kuat bagi pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan,” ujar Heryawan.
Terkait dengan Koordinasi Penanganan Tindak Pidana Kehutanan, Dinas Kehutanan (Dishut) Provinsi Jawa Barat bersama pengelola kehutanan lainnya berhasil mendata luasan kawasan hutan yang digunakan secara ilegal. Bahkan  menurut Anang Sudarna, Kepala Dishut Provinsi Jawa Barat, ada sekitar 58.344,31 hektar yang patut diduga masuk dalam kategori tindak pidana kehutanan. Dari jumlah luasan itu sekitar 52.653,82 hektar masuk dalam penguasaan Perum Perhutani Unit III Jabar-Banten. Sisanya yakni 3.478,13 hektar berada dalam pengelolaan Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) dan 2.212,36 hektar masuk dalam wilayah Taman Nasional.

Read more...

Cegah kebakaran, warga sekitar hutan di Bandung diminta waspada

SOREANG (bisnis-jabar.com): Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan (Distanbunhut) Kabupaten Bandung, Jawa Barat, meminta warga sekitar hutan menghindari aktivitas dengan menggunakan api yang berpotensi dapat menimbulkan kebakaran hutan.
“Di musim kemarau sumber api sangat rentan terjadinya kebakaran hutan, apalagi sampai saat ini masih ada warga masyarakat yang membuka lahan dengan cara membakarnya. Selain itu, perbuatan manusia ceroboh dengan membuang puntung rokok sembarangan di hutan pun masih menjadi ancaman,” kata Kepala Distanbunhut Kabupaten Bandung, Tisna Umaran kepada wartawan, hari ini.
Dia mengatakan memasuki kemarau tidak ada aktivitas yang melibatkan api pun bisa menyebabkan hutan terbakar, karena panasnya terik matahari secara tiba-tiba bisa menyebabkan rerumputan terbakar, apalagi sengaja dibakar.
Untuk itu, kata dia,tidak ada toleransi bagi warga yang membuka hutan untuk areal pertanian atau perkebunan dengan cara membakar. Pasalnya, hal itu bisa merusak kelangsungan ekosistem yang ada di dalam hutan dan sekitarnya. Apabila ekosistem terganggu, akan berdampak buruk bagi kehidupan manusia.
“Membuka lahan pertanian di hutan itu ada prosedurnya bukan sembarangan cara membakar. Kebanyakan warga ingin mengambil cara yang lebih mudah dan cepat yakni dengan membakarnya,” ujarnya.
Menurut dia,saat ini luas hutan di Kabupaten Bandung mencapai 76.000 hektare. Yang terdiri atas hutang lindung dan konservasi. Dari 76.000 hektare areal hutan tersebut, yang termasuk hutan lindung luasnya mencapai 50.000 hektare. Untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan, pihaknya akan terus berkoordinasi dengan Perhutani dan pihak kecamatan.
“Karena mayoritas hutan di Kabupaten Bandung itu milik Perhutani. Makanya, kita ajak Perhutani untuk mensosialisasikan warga sekitar hutan untuk bisa menjaga kelestarian termasuk dari terjadinya kebakaran. Sebab, kalau sudah terbakar, bumi kita akan semakin panas,” ujarnya.
Sementara itu, Kapolres Bandung, AKBP Sony Sonjaya menilai, kasus pengrusakan hutan di Kabupaten Bandung tidak banyak. Oleh karenanya, pihaknya masih belum berencana melakukan aksi konkrit gerakan penyelamatan hutan secara massif bersama masyarakat sebagaimana dilakukan untuk pemberantasan aksi kejahatan lainnya.
“Untuk menjaga kelestarian hutan itu yang perlu dilakukan adalah membangunkan kesadaran warga dalam hal memiliki hutan. Bahwa hutan bukan milik pemerintah, tapi milik anak cucu kita. Makanya, harus dijaga bersama,” ujarnya.

Read more...

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP