Hukum Adat Bali Mampu Pertahankan Kelestarian Hutan
Hukum adat Bali akan mampu mempertahankan kelestarian hutan yang masih tersisa di Pulau Dewata, jika pemerintah bersedia menyerahkan pengelolaannya kepada masyarakat adat setempat.
"Kami menjamin melalui penerapan hukum adat akan mampu melestarikan pengelolaan hutan yang masih tersisa. Proposal permohonan pengelolaan hutan kepada pemerintah sedang kami persiapkan," kata Ketua Perhimpunan Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali, I Gusti Ngurah Sudiana, Sabtu (26/1).
Ia mengungkapkan hal itu di sela-sela penanaman 1.000 bibit bakau bantuan Telkomsel di Pulau Serangan. Pulau di tenggara Denpasar seluas 110 hektar itu sekitar tahun 1990 direklamasi menjadi 481 hektar, namun kemudian kondisi hutan bakaunya rusak dan keadaannya kini terlantar.
Ngurah Sudiana mengaku prihatin melihat kondisi hutan-hutan di Pulau Dewata, termasuk kawasan Pulau Serangan yang telah menyatu dengan daratan Pulau Bali, sehingga PHDI tergerak untuk mengajukan usulan pengelolaan hutan oleh masyarakat adat.
"Kerusakan hutan oleh penebangan liar maupun atas nama pembangunan, seperti melalui reklamasi pantai, harus dihentikan. Kerusakan Pulau Bali sudah mengkhawatirkan. Setiap musim hujan jadi banjir, sementara perambahan hutan dan areal lainnya untuk pembangunan fasilitas pariwisata tambah marak," katanya.
Selain akan berupaya memperoleh kepercayaan dari pemerintah untuk mengalihkan pengelolaan hutan kepada masyarakat adat, Ngurah Sudiana juga berharap akan lebih banyak lagi kepedulian perusahaan terhadap pelestarian lingkungan seperti yang ditunjukkan Telkomsel.
Hukum adat Bali di antaranya memberikan sanksi pengusiran kepada penduduk yang terbukti melakukan pelanggaran, seperti merusak hutan, sumber air dan berbagai sumber daya lainnya, tambahnya.
Menurut Lurah Serangan, I Made Poniman, yang pada kesempatan itu juga menerima penyerahan bantuan sosial dari Telkomsel sebesar Rp15 juta, untuk menuju Pulau Serangan semula harus menggunakan perahu, dan kondisi lingkungannya lestari oleh rimbunnya hutan bakau.
Namun kemudian direklamasi PT Bali Turtle Island Development (BTIP) untuk Kawasan Pengembangan Wisata Pulau Serangan, namun terbengkalai sejak era reformasi.
"Sudah bertahun-tahun kondisi kawasan yang dijadikan 'benteng bakau'- nya Bali ini terlantar. Yang ada hanya aktivitas petugas keamanan," ujarnya.
Anak Agung Ngurah Gede Kusumawardhana, 'penglingsir' atau sesepuh Puri Agung Kesiman, yang menjadi pendukung penghijauan tersebut, juga memprihatinkan kerusakan lingkungan di Bali, seperti yang dapat dengan mudah dilihat di Pulau Serangan.
"Kerusakan hutan, termasuk kawasan bakau di Pulau Serangan akibat ulah investor ini seharusnya menjadi pelajaran bagi penentu kebijakan pemerintahan. Hati-hatilah dalam memberikan izin untuk pembangunan wisata," kata tokoh keturunan keluarga Puri (Kerajaan) Kesiman itu.
Ia menuturkan, saat penguasaan kawasan pulau yang memiliki nilai spiritual tinggi dengan adanya Pura Sakenan, diwarnai tindakan pemaksaan melibatkan aparat TNI.
"Saya sebagai keluarga Puri yang membawahi Pulau Serangan, saat itu berulang kali dipanggil, diperiksa dan bahkan diancam oleh aparat berseragam," ucapnya.
Namun kenyataannya kini kondisi kawasan Pulau Serangan rusak, bakaunya hancur, penyu (turtle) menghilang karena habitatnya terusik dan nilai spiritual-nya juga luntur seiring mudahnya akses jalan beraspal ke tempat-tempat yang dulu disakralkan.
"Kawasan ini sudah bukan pulau lagi, karena telah menyatu dengan daratan Bali. Kami ingin pengelolaannya dikembalikan kepada masyarakat untuk dipulihkan seperti sedia kala," tutur AA Ngurah Gede pada acara yang juga dihadiri General Manager Network Operation Telkomsel Bali-Nusra,
0 komentar:
Posting Komentar