Studi Pelestarian Hutan Mangrove Melalui Pendekatan Mina Hutan Di Kabupaten Kutai Kartanegara
Wilayah pesisir umumnya merupakan tempat pemusatan berbagai kegiatan, seperti pemukiman, pertambakan, pariwisata (pariwisata bahari), sarana perhubungan dan sebagainya. Aktivitas-aktivitas tersebut asset yang besar dalam menunjang devisa negara. Namun sebagai akibat multi kegiatan manusia, baik yang menggunakan teknologi maju maupun tradisional, seringkali menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan yang mengakibatkan turunnya potensi sumberdaya di wilayah pesisir (Supriharyono, 2003).
Wilayah Pesisir adalah daerah peralihan antara Ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut (Undang-Undang No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Keci / UU No.27/2007 PWP-3K pasal 1 ayat 2). Perairan Pesisir adalah laut yang berbatasan dengan daratan meliputi perairan sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai, perairan yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal, rawa payau, dan laguna (UU No.27/2007 PWP-3K pasal 1 ayat 7).
Berdasarkan sudut pandang ekologis, wilayah pesisir dan laut merupakan lokasi beberapa ekosistem yang unik dan saling terkait, dinamis dan produktif. Beberapa ekosistem utama di wilayah pesisir dan laut adalah Estuaria, Hutan Mangrove, Padang Lamun, Terumbu Karang, Pantai (berbatu, berpasir dan berlumpur) dan Pulau-Pulau Kecil. Estuaria merupakan daerah bertemunya dua massa air yang berbeda yaitu massa air tawar dan massa air laut (bersalinitas tinggi) dimana terjadi proses pengadukan (mixing process).
Kehadiran hutan mangrove pada ekosistem pesisir merupakan zona peralihan antara ekosistem darat dan laut, sehingga kewenangan pengelolaan mengharuskan multi sektoral/instansi. Hal tersebut tergambar dari banyaknya pihak yang berkepentingan dengan wilayah pesisir terutama pemanfaatan hutan mangrove sehingga memicu munculnya konflik yang tidak kunjung selesai. Multi sektoral tersebut antara lain, yaitu sektor perikanan, perhubungan, industri dan perdagangan, pertambangan, kehutanan, permukiman dan pariwisata (Saparinto, 2007) maupun sosial ekonomi masyarakat. Kecenderungan banyaknya instansi yang berwenang mengelola hutan mangrove menimbulkan masalah baru yaitu ”tumpangtindihnya kebijakan”, mempertajam konflik sektoral dan penyelesaian permasalahan dilapangan saling lempar tanggung jawab.
B. Permasalahan
Adanya kondisi semakin rusaknya hutan mangrove hampir diseluruh pesisir Indonesia tergambar dari semakin menurunnya luasan mangrove yang terkonversi bukan menjadi peruntukannya. Sebagai contoh kasus penanganan hutan mangrove di Delta Mahakam yaitu konversi hutan mangrove menjadi kawasan pertambakan (budidaya udang dan bandeng) di Delta Mahakam, bahkan ada kecenderungan pelaksanaan aturan untuk green belt tidak diindahkan (Irawan dan Sari 2004). Kondisi aktual hutan mangrove yang ada meliputi 79% dari total keseluruhan Delta Mahakam atau seluas 85.558 hektar dari 108.251,31 hektar, dan 51.352,11 hektar dari 85.558 hektar atau 60,02% yang terbuka oleh tambak (Sumaryono, 2007).
Adanya upaya Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dalam merevisi Rencana Tata Ruang Wilayah Perubahan (RTRWP) Kalimantan Timur yang merekomendasikan untuk melakukan rekonstruksi tata batas, terhadap Delta Mahakam. Hal ini dikarenakan adanya perubahan tata ruang provinsi dan kabupaten/kota serta menyesuaikan kembali luas kawasan-kawasan yang diusulkan menjadi 50% tutupan bakau dan nipah, 50% untuk budidaya tambak yang ramah lingkungan. Sehingga pengembangan budidaya mangrove, aneka usaha kehutanan dan perikanan kelautan dan meningkatkan peran kelembagaan untuk menanggulangi kerusakan lingkungan, namun pengusulan RTRWP tersebut belum mendapatkan persetujuan.
Kondisi aktual tersebut menunjukkan adanya perubahan fungsi ekosistem hutan mangrove menjadi lahan budidaya. Tentunya jika hal tersebut terus berlangsung maka tidak dapat dipungkiri, kita akan kehilangan hutan mangrove di pesisir dan Delta Mahakam Kabupaten Kutai Kartanegara. Sejalan dengan hal tersebut perlunya dilakukan pendekatan strategis, yaitu pendekatan program mina hutan dalam upaya mengendalikan dan meminimalisir konversi hutan mangrove.
C. Ruang Lingkup Studi
Ruang lingkup obyek studi, meliputi :
- Identifikasi sistem pengelolaan tambak yang sedang dilakukan oleh masyarakat.
- Stakeholders dan masyarakat yang bersinggungan langsung dengan pengelolaan hutan mangrove.
- Lokasi studi terdiri dari Kecamatan Samboja, Muara Jawa, Anggana, Muara Badak dan Marang Kayu Kabupaten Kutai Kartanegara.
- Kebijakan (Undang-Undang dan peraturan) yang mengatur pengelolaan hutan mangrove.
Tujuan dari studi pelestarian hutan mangrove melalui pendekatan mina hutan di Kabupaten Kutai Kartanegara, yaitu :
- Mengidentifikasi sistem pengelolaan tambak yang sedang dilakukan oleh masyarakat
- Menghimpun data dan informasi mengenai persepsi stakeholder dan masyarakat yang bersinggungan langsung dengan pengelolaan dan pemanfaat hutan mangrove terhadap pelestarian hutan mangrove melalui pendekatan mina hutan.
- Merumuskan rekomendasi/model dalam pelestarian hutan mangrove melalui pendekatan mina hutan.
Output dari studi ini adalah :
- Teridentifikasinya sistem pengelolaan tambak yang sedang dilakukan oleh masyarakat.
- Terhimpunnya data dan informasi mengenai persepsi stakeholder dan masyarakat yang bersinggungan langsung dengan pengelolaan dan pemanfaat hutan mangrove terhadap pelestarian hutan mangrove melalui pendekatan mina hutan.
- Terumuskannya rekomendasi dalam pelestarian hutan mangrove melalui pendekatan mina hutan.
0 komentar:
Posting Komentar