Jumat, 25 November 2011

KELESTARIAN HUTAN DI INDONESIA, TANGGUNGJAWAB SETIAP WARGANEGARA

1. Kondisi hutan di Indonesia
Indonesia adalah negara yang sangat terkenal karena memiliki hutan yang sangat luas. Menurut Walhi (2004), Indonesia masih memiliki 10 persen dari luas hutan tropis di dunia. Angka ini cendrung berkurang jika kerusakan hutan tidak segera dikendalikan. Memang sudah cukup banyak produk hukum yang dibuat oleh pemerintah Indonesia, namun penerapannya masih sangat lemah. Penanganan kasus pengrusakan hutan masih kurang serius dan terkesan memberi ruang yang leluasa bagi para pelaku pengrusakan hutan untuk mencari pembenaran diri.

1.1. Potensi hutan di Indonesia
1.1.1. Potensi ekonomi
Dari aspek ekonomi, sektor kehutanan Indonesia menyumbang devisa terbesar kedua setelah sektor migas. Devisa ini sebenarnya perlu dipertahankan tanpa harus merusak hutan. Sebaliknya, dengan semakin tinggi tingkat kerusakan hutan, devisa negara dari sector ini akan mengalami penyusutan.
Di samping itu, hutan adalah pemasok oksigen. Populasi tanaman yang tumbuh di hutan mampu memasok oksigen untuk keperluan manusia serta hewan. Maka tidak heran jika hutan dijuluki paru-paru alam.
Hutan juga memiliki peranan penting dalam penyediaan air tanah. Akar pepohonan secara alamiah mampu mengikat unsur air. Di samping itu, dengan ditampungnya air dalam tanah, bahaya banjir dapat dicegah. Dapat dibayangkan apabila suatu daerah terkena bencana banjir, berapa kerugian material yang diderita para warga di kawasan bencana tersebut? Padahal untuk mencegah bencana tersebut sebetulnya tidak sulit, hanya butuh kesadaran akan pentingnya hutan.

1.1.2. Potensi sosial
Hutan merupakan “wahana interaksi” masyarakat tradisional yang mendiami kawasan sekitarnya. Mereka memanfaatkan hutan sebagai sumber makanan, serta sumber-sumber kehidupan lainnya. Hutan juga merupakan wadah pemersatu para suku di pedalaman. Mereka memiliki banyak kepentingan vital yang sama terhadap hutan yang lestari. Masyarakat tradisional memiliki modal sosial yang berkaitan dengan hutan. Pembahasan tentang hutan dapat menjadi ajang pertemuan bagi para kepala suku dalam komunitas masyarakat adat. Selain itu, secara sosial hutan juga dapat menjadi wahana pertemuan masyarakat kota dan masyarakat pedalaman. Dengan tujuan wisata, masyarakat kota pada hari-hari libur dapat melakukan berbagai aktivitas seperti berkemah, lintas alam dan kegiatan rekreasi lainnya. Kegiatan-kegiatan ini memerlukan fasilitasi masyarakat adat yang mendiami kawasan hutan. Dengan interaksi sosial tersebut, diharapkan semakin meningkat interaksi antara berbagai pihak, yang pada akhirnya bermuara kepada saling pengertian akan pentingnya kelestarian hutan.

1.1.3. Potensi keanekaragaman hayati
Hutan Indonesia sangat terkenal dengan keanekaragaman hayati. Tanaman dan satwa yang hidup dalam hutan merupakan potensi hutan yang tidak boleh diabaikan. 12% dari jumlah spesies binatang menyusui, 16% reptil dan amfibi, 1.519 spesies burung dan 25 % spesies ikan dunia (Walhi 2004). Dalam kaitan dengan keanekaragaman hayati, komponen-komponen hutan tersebut menyediakan berbagai tanaman yang bisa dimanfaatkan sebagai penyedia oksigen, bahan makanan, bahan bangunan, serta obat-obatan. Tidak ketinggalan, hutan merupakan obyek wisata. Diperkaya oleh satwa yang menghuni hutan, semakin lengkap peranan hutan sebagai kawasan yang kaya unsur-unsur kehidupan yang ada di dalamnya.

2. Ancaman terhadap hutan Indonesia
Masalah kerusakan hutan merupakan masalah yang sangat traumatis bagi Indonesia. Pemerintah Republik Indonesia (RI) dinilai kurang serius dalam mengatasi kerusakan hutan. Perdebatan tingkat tinggi pun dilakukan untuk mencari pembenaran diri tanpa melihat fakta bahwa fokus pembahasan adalah kerusakan hutan. Harian Sinar Harapan (4 Mei 2007) mengulas silang pendapat antara Green Peace dengan Pemerintah RI sehubungan dengan masalah kerusakan hutan. Green Peace menilai Indonesia masuk dalam kategori negara dengan laju kerusakan hutan tertinggi di dunia. Sebaliknya, Pemerintah RI membantah tudingan tersebut dengan mengemukakan fakta yang berbeda dengan yang dikemukakan oleh Green Peace. Terlepas dari persoalan seberapa tinggi laju kerusakan hutan, seharusnya yang dilakukan oleh Pemerintah RI adalah semaksimal mungkih menurunkan laju kerusakan hutan. Upaya ini perlu diawali dengan kesadaran bahwa kerusakan hutan itu memang ada. Setelah kesadaran itu tumbuh, diharapkan penanganan kerusakan hutan dapat dilakukan secara berkesinambungan.
Mencermati gejala-gejala yang terjadi saat ini, ditemukan beberapa penyebab kerusakan hutan. Karena tema pembahasan tulisan ini berkaitan dengan pelestarian hutan, maka penulis ingin mengangkat beberapa penyebab kerusakan hutan yang ada dengan tujuan untuk memberi kesadaran kepada setiap warga negara bahwa pelestarian hutan adalah tanggungjawab bersama. Selain itu penulis juga mau menekankan bahwa sekecil apapun penyebab kerusakan hutan, tetap saja ada ekosistem yang berubah.

Berikut ini adalah beberapa penyebab kerusakan hutan :

2.1. Perladangan liar
Walaupun definisi perladangan liar masih simpang siur, namun fakta berbicara bahwa perladangan liar dapat merusak hutan. Jangka waktu rotasi perladangan yang dari waktu ke waktu semakin kecil menyebabkan tidak optimalnya regenerasi hutan. Ducourtieux (2000) menyarankan bahwa regenerasi hutan sebaiknya dilakukan dalam periode 20 tahun. Selama peride tersebut, kondisi tanah secara alamiah dapat diperbaiki. Dengan kondisi sudah diregenerasi, tanah tersebut dapat dimanfaatkan lagi setelah masa regenerasi. Akan tetapi, sejalan dengan laju pertumbuhan penduduk yang semakin cepat, kebutuhan akan lahan garapan pun semakin mendesak. Tidak heran jika saat ini, periode regenerasi hutan dipersingkat menjadi 6 hingga 8 tahun bahkan kurang dari itu.
Selain konsekuensi penurunan produktivitas tanah, perladangan liar juga mengakibatkan menurunnya luas hutan. Berkurangnya areal hutan diikuti pula dengan semakin gersangnya tanah, meluasnya populasi alang-alang, serta jenis rumput-rumputan lainnya yang sangat mudah terbakar di musim kemarau.

2.2. Cara bertani yang perlu dirubah
Di kawasan dataran tinggi Indonesia khususnya di luar Pulau Jawa, sering ditemukan praktek-praktek pertanian yang kurang ramah lingkungan. Memang praktek-praktek ini didukung oleh sejumlah alasan tradisi, namun tetap saja berakibat pada terancamnya kelestarian hutan. Salah satu contohnya adalah pola tebas bakar. Pola ini sangat umum dilakukan para peladang. Pada bulan-bulan Juni hingga Agustus, lahan ditebas. Setelah kayu dan dedaunan dinggap cukup kering, pada bulan September dimulailah ritual pembakaran. Lahan hasil pembakaran tersebut siap untuk ditanami dengan berbagai macam tanaman palawija bergitu hujan turun.
Praktek ini ternyata sangat mengancam kelestarian hutan. Jumlah organisme baik makro maupun mikro menurun drastis sejak hutan ditebas hingga dibakar. Unsur-unsur hara tanah pun ikut berkurang akibat terbakar api atau pun terkikis air dan angin (erosi). Kondisi ini diperparah dengan diabaikannya pembuatan terasering dengan alasan durasi penggunaan lahan yang tidak terlalu lama (maksimal 2 tahun).
2.3. Penyerobotan tanah dan penebangan liar
Kedua kasus ini merupakan tantangan yang cukup serius bagi Indonesia. Dengan alasan meningkatnya kebutuhan akan lahan garapan, terjadi penyerobotan hutan lindung dan hutan tutupan. Tindakan tersebut tentu saja mengganggu ketersediaan air tanah serta kelangsungan hidup populasi tanaman dan hewan yang hidup di dalamnya.
Seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan perumahan yang layak, meningkat pula permintaan terhadap bahan bangunan terutama kayu. Hal ini berakibat pada penebangan liar di sejumlah kawasan hutan di Indonesia. Penebangan liar tidak memperhitungkan kelestarian hutan. Akibatnya, setiap tahun angka kerusakan hutan meningkat mencapai 62.012 hektar (Walhi, 2004).
Pihak yang paling bertanggungjawab atas penebangan liar adalah para pemegang Hak Pengelolaan Hutan (HPH). Jika para pemegang menyadari akan pentingnya hutan dalam konteks keberlanjutan, mungkin penebangan liar bisa dihindari. Sebetulnya sudah ada peraturan tentang tebang pilih, namun dalam pelaksanaan di lapangan, aturan ini tidak dilaksanakan secara benar. Yang terjadi justru penebangan secara brutal tanpa memikirkan dampak lingkungan yang akan terjadi akibat diabaikannya pola tebang pilih.
2.4. Penggembalaan liar
Walaupun tidak terlalu besar pengaruhnya terhadap kerusakan hutan, pengembalaan liar pun berperanan dalam berkurangnya luas hutan. Di beberapa kawasan savannah dan steppa di bagian timur Indonesia, ternak-ternak besar dibiarkan berkeliaran di hutan. Pola pengambilan rumput (grassing) yang tidak terkontrol menyebabkan terbentuknya lahan kritis baru, yang sangat rentan terhadap erosi dan bahaya banjir.
Lahan kritis baru ini sangat sulit ditumbuhi rerumputan baru karena jumlah ternak besar dan ketersediaan rumput tidak diatur dengan baik. Padahal, jika pengontrolan dilakukan menurut kaidah-kaidah penggembalaan yang benar (manajemen pastura), maka dapat dipastikan diraihnya keuntungan ganda; hutan yang terawatt dan ternak yang berproduksi tinggi.

2.5. Kebakaran Hutan
Ada beberapa sebab kebakaran hutan. Pembakaran hutan untuk keperluan berburu merupakan alasan yang paling populer. Untuk mempermudah menangkap hewan buruan, para pemburu membakar kawasan hutan. Tujuannya adalah menjadikan api sebagai perangkap hewan buruan. Nilai jual hewan buruan yang diperoleh biasanya tidak sebanding dengan nilai kerusakan hutan yang disebabkan oleh kebakaran yang disengajakan ini.
Selain untuk kepentingan berburu, pembakaran liar juga disebabkan ulah pelintas hutan yang tidak bertanggungjawab. Sering terjadi bahwa para pelintas membuang puntung rokok yang belum sempat dimatikan. Api yang berasal dari puntung rokok ini sangat mudah membakar rerumputan kering, dan menjalar ke mana-mana dalam kawasan hutan.

3. Mencari solusi atas kondisi hutan yang terancam
Dari uraian-uraian di atas, jelas kelihatan bahwa hutan memiliki manfaat yang sangat besar terhadap kelangsungan hidup manusia. Setiap warganegara Indonesia mendapat keuntungan langsung dari hutan, mulai dari oksigen yang dihirup hingga keuntungan-keuntungan lainnya. Bagi para pihak yang memperoleh keuntungan-keuntungan tersebut, perlu ditumbuhkan kesadaran bahwa simbiosis mutualisme antara manusia dan hutan perlu dipertahankan. Eksploitasi hutan secara berlebihan dapat merusak hubungan simbiosis antara manusia dan hutan. Implikasinya dapat dilihat melalui bencana banjir, kebakaran, meningkatnya suhu harian serta berubahnya iklim mikro.
Selama ini, manusia masih melihat hutan berpotensi karena pepohonan yang tumbuh di dalamnya. Orang mengasosiasikan hutan sebagai penyedia bahan bangunan. Namun sebetulnya peranan hutan bukan hanya sebatas penyedia bahan bangunan. Masih banyak peranan vital lainnya yang berikan pleh hutan. Sulit dibayangkan apabila hutan benar-benar habis. Bagaimana manusia dan hewan bisa memperoleh oksigen dan sumber makanan lainnya ?
Melihat penyebab-penyebab kerusakan hutan di atas, sebetulnya tuntutan untuk dikemnbalikannya fungsi hutan secara jelas sudah sangat mendesak. Fungsi hutan dapat terjaga apabila kesadaran akan simbiosis mutualisme antara manusia dan hutan sudah terbangun. Kesadaran tersebut dapat dimotivasi dengan beberapa cara antara lain :
1) Membangun diskusi yang baik dengan para peladang berpindah. Umumnya para peladang berpindah hanya mengikuti tradisi nenek moyang. Ketika nenek moyang mereka melakukan pola perladangan berpindah, jumlah lahan pada saat itu sangat memadai. Regenerasi dapat dilakukan dalam periode 20 tahun. Akan tetapi, pada saat ini sangat sulit melakukan regenerasi dengan rentang waktu yang sama. Dengan terbangunnya diskusi yang baik, para peladang dapat dimotivasi untuk melakukan innovasi dalam menggarap lahan. Jika pada tempo dulu nenek moyang mereka melakukan regenerasi dalam waktu relatif lama untuk mengembalikan unsur-unsur organik tanah, saat ini para peladang bisa melakukan penyuburan kembali tanah dengan cara pemupukan, pembuatan terrace-ring (terasering) untuk mencegah erosi, serta melakukan variasi pola tanam.
2) Melakukan sosialisasi tentang pentingnya hutan lindung. Sosialisasi ini perlu diikuti oleh berbagai pihak yang berkepentingan agar informasi yang disampaikan dapat diterima dengan baik. Banyak orang belum menyadari hubungan antara hutan lindung dengan pencegahan bencana banjir. Karena itu, upaya meningkatkan pemahaman akan fungsi hutan perlu mendapat prioritas.
3) Melakukan kontrol yang ketat terhadap perusahan-perusahan yang mendapat ijin menebang hutan. Hal ini penting karena penyebab terbesar kerusakan hutan berada pada tangan oknum-oknum ini. Kontrol yang ketat tentu saja perlu didukung oleh produk hukum yang mampu memberi efek jera kepada para pelaku pengrusakan hutan.
4) Sehubungan dengan intensifikasi pertanian, maka pola peternakan pun perlu mendapat perhatian yang serius. Perlu dibuat peraturan tentang penggembalaan ternak di kawasan hutan. Selain itu, peran penyuluh pertanian untuk mempromosikan pola peternakan yang lebih efektif dan efisien kiranya dapat menumbuhkan kesadaran untuk mengurangi dampak lingkungan akibat penggembalaan liar.
5) Beberapa daerah telah mengeluarkan Peraturan daerah (Perda) tentang pengendalian kebakaran hutan. Secara teknis, perda-perda tersebut memuat aturan-aturan yang tegas tentang larangan membawa bahan-bahan yang mudah terbakar (misalnya korek api, rokok) saat melintasi kawasan hutan atau saat melakukan pendakian gunung. Sangsi berupa pembayaran uang denda yang cukup tinggi diharapkan dapat memberi efek jera serta kesadaran akan pentingnya kelestarian hutan.
4. Kesimpulan
Hutan di Indonesia adalah modal bangsa yang perlu dilestarikan. Mengingat banyaknya manfaat yang diperoleh dari pelestarian hutan, maka upaya ini merupakan suatu keharusan. Dalam kaitan dengan ini, membangun kesadaran sangat penting untuk mamperoleh dukungann aktif secara berkelanjutan. Kesadaran ini perlu ditumbuhkan secara menyeluruh dalam segala aspek baik aspek ekonomi hutan, aspek sosial serta keanekaragaman hayati hutan. Jika aspek-aspek ini telah dipahami dengan baik, penghargaan akan hutan akan semakin meningkat.
Perlu pula dipahami bahwa tugas pelestarian hutan merupakan tugas bersama setiap warga negara. Hutan memberikan banyak keuntungan kepada masyarakat Indonesia, karena itu sepatutnyalah sebagai warganegara yang baik dituntut rasa memiliki dan rasa tanggung jawab terhadap hutan.
*) Penulis : Mahasiswa pada program MSc in Management of Agro-ecological Knowledge and Social Changes, Wageningen University and Research Centre, The Netherlands.

0 komentar:

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP